Kamis, 05 Maret 2009


d'art in actions....

DIMANA SENI PATUNG SUMATERA BARAT...???

oleh : Lisa Widiarti
(makalah diskusi dalam acara pameran " Jelajah Patung dalam Tradisi Minang " 2006)


Pendahuluan

Seni selalu hadir pada setiap periode sejarah manusia dengan keaneka ragaman ekspresinya. Sebagai salah satu produk budaya, kesenian selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Karya-karya seni yang kita warisi tidak saja berbeda dari jaman ke jaman, dari satu ruang kebudayaan ke ruang kebudayaan yang lain, juga di dalam kebudayaan yang sama pun terdapat aliran-aliran yang berbeda, malah kadang-kadang sejajar pada waktu yang sama.

Perkembangan yang terjadi berawal dari pandangan manusia yang selalu dinamis dalam ide, yang terefleksi dalam proses dan berakhir pada terbentuknya wujud karya seni. Pendapat tentang apa itu seni nampaknya akan terus berkembang tergantung dari sudut mana mereka memandang. Puluhan definisi, atau ratusan, bahkan ribuan definisi seni akan lahir. Kita dapat membayangkan betapa sulit mencari definisi seni mana yang dijadikan pegangan.

Bila kita bertitik tolak berdasarkan pendapat bahwa seni adalah ungkapan pikiran dalam suatu bentuk nyata, maka kemungkinan penyebab perubahan aliran/style dikarenakan adanya perubahan di dalam kesadaran manusia. Dengan demikian karya seni mencerminkan cara berpikir dan pengalaman subjektif pada suatu masa tertentu.

Seni patung sebagai salah satu cabang seni rupa telah hadir jauh sebelum manusia mengenal peradaban modern seperti sekarang. Di zaman itu patung dihadirkan sebagai alat ritual dan dianggap sebagai benda keramat serta disucikan. Sekarang patung telah mengalami perubahan, baik dari segi fungsi, material dan perwujudan bentuk. Patung tidak lagi mencerminkan simbol komunal melainkan bergeser sebagai medium aspirasi pribadi si pematung.

Awal pertumbuhan seni patung di Indonesia diilhami oleh semangat nasionalisme. Tradisi pembuatan patung kepahlawanan di Yogyakarta berlanjut di Jakarta. Identitas patung kepahlawanan dengan gaya realis masih terus diterapkan pada patung-patung monumen yang ditempatkan dibeberapa sudut yang strategis di wilayah kota Jakarta. Dalam hal ini Presiden Soekarno sebagai pecinta seni dan pembina seni sangat berperan dalam menentukan tema dan gaya ekspresi patung (Wiyoso Yudoseputro, Seni Patung Modern, 1991).

Para pematung berusaha memberikan interpretasi bentuk dalam batas-batas pesan yang telah dirumuskan dalam bahasa bentuk patung yang mampu membakar semangat perjuangan. Dalam kondisi proses cipta semacam ini karya pematung memang tampak kehilangan kemandiriannya dan kehilangan kebebasan sebagai ciptaan pribadi (G. Sidharta, makalah, 1984).

Pertumbuhan seni patung di Indonesia kini cenderung berjalan sendiri-sendiri. Sekelompok pematung konvensional sengaja mempertahankan ideologi pasar sebagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan investor dan kolektor seni. Sementara kelompok yang menyatakan diri sebagai pematung “modern”, perjalanannya mengarah dan berkiblat kepada konsepsi. Konsepsi yang bertolak pada penonjolan ide, kini merambah dalam berbagai multi; dari multi media sampai multi idea. Instalasi yang mula-mula tumbuh dari tradisi seni patung, telah membaur dengan instalasi dari jurusan yang lain yang sama-sama produk seni rupa kontemporer.

Jelajah Seni Patung Masa Kini

Sekitar paruh pertama 70-an sejumlah mahasiswa seni patung di perguruan seni rupa kita mulai mencoba menjelajahi kemungkinan-kemungkinan baru. Para mahasiswa itu menampilkan macam ragam eksperimen, melintas batas bunyi, bau, dan bahkan menempatkan tubuh sendiri sebagai medium. Eksperimen tersebut kerap didefinisikan “merespons” ruang. Bergesernya patung-patung tunggal ke instalasi, merupakan penjelajahan ruang tak terbatas dalam dunia seni patung itu sendiri.

Instalasi patung untuk pertamakalinya diperkenalkan oleh Jim Supangkat seorang mahasiswa studio seni patung ITB. Pada 1975 ia mengajukan Tugas Akhir berjudul “Kamar Seorang Ibu dan Anaknya”. Karya itu sama sekali melepaskan diri dari sensibilitas sebuah karya patung. Sensasi rupa yang hangat pada patung seperti; bentuk, barik, plastisitas, bergeser ke narasi yang terasa dingin. Muatan cerita tiba-tiba mengambil peran yang jauh lebih besar dari pada penjelajahan bentuk. Kepercayaan pada universitas ditinggalkan, dan ia beralih pada konteks tertentu. Inilah instalasi (patung) pertama walau pun istilah instalasi belum dikenal dimasa itu, diloloskan maju ke sidang akademi. Jim Supangkat lulus sangat memuaskan dengan karya tersebut (Asikin Hasan, Buletin Asosiasi Pematung Indonesia (API), 2004). Pembaharuan dalam bidang seni patung ini terus berlanjut pada masa berikutnya yang diikuti oleh aksi-aksi dari sejumlah pematung-pematung muda lainnya (mahasiswa studio seni patung), baik di Bandung atau pun di Yogyakarta.

Memasuki abad 21, kita dihadapkan berbagai masalah sosial, budaya, politik, ekonomi, dan berbagai segi kehidupan yang berkaitan dengan moralitas. Maka munculah beberapa kelompok pematung muda mencoba menawarkan berbagai wacana dalam berbagai bentuk performance art, instalasi art dan collaboration art, sebagai pijakan berkarya. Mereka mencoba mengangkat berbagai wacana politik, sosial, ekonomi, moralitas dalam fenomena yang ia racik dalam multi media dan multi-idea. Mereka tidak lagi membatasi disiplin seni atau cabang seni yang terkotak-kotak oleh modernisme yang lahir dari dorongan untuk menjaga standar nilai estetik. Namun mereka berangkat dari keragaman tafsir dari realitas yang mereka rasakan bersama, sehingga karya-karya mereka bernuansa kehidupan sosial yang mengarah pada universalilasi gagasan, karena mereka nampaknya ingin melepaskan diri dari kungkungan individu yang terhimpit oleh ruang dan waktu.

Seni patung Sumatera Barat

Dalam peta budaya, pengertian “Sumatera Barat” harus dipandang sebagai suatu bentuk yang bercorak multi budaya. Maka pengertian “Seni Patung Sumatera Barat”, bukan berarti seni patung yang dibuat oleh orang Minang saja, tetapi seni patung yang mempunyai “roh” yang bernafaskan Sumatera Barat yang multi-budaya. Yang menjadi permasalahan kini, yakni bagaimana memberikan kehidupan terhadap seni patung yang punya nafas Sumatera Barat yang multi-budaya dan multi-tradisi tersebut.

Sebenarnya yang menjadi permasalahan bukan apa dan seperti apa “Seni Patung Sumatera Barat”, karena dalam mewujudkan karyanya bisa saja dalam bentuk apa pun, seperti; konvensional, modern atau wacana kontemporer, asalkan pematungnya paham dengan apa yang dibuat serta mampu mengkomunikasikannya pada si pengamat. Dan yang terpenting dari semua itu, perlu adanya perenungan apakah karya tersebut sudah memiliki kekhasan dan corak tersendiri dalam peta seni patung Indonesia.

Seni patung berlabel “Sumatera Barat” memang perlu untuk dipertanyakan. Seperti kalimat yang tertera pada judul makalah ini “Dimana Seni Patung Sumatera Barat...???” memiliki makna ambigu, bisa jadi mempertanyakan dimanakah atau sudah muncul atau belumkah seni patung di Sumatera Barat, atau bisa juga memiliki makna bagaimana eksistensi seni patung Sumatera Barat dalam peta perkembangan seni patung Indonesia.

Bila kita melihat perkembangan seni patung di Yogyakarta dan Bandung yang merupakan kota sentra seni di Indonesia, ternyata sebagian besar dari pematungnya yang telah mempunyai nama besar dalam bidang seni patung di Indonesia adalah orang Minang. Nama-nama tersebut diantaranya; Syahrizal Koto, Kasman KS, Rudi Mantofani, Handiwirman, Yusra Martunus, dll (di Yogyakarta) dan Amrizal Salayan (di Bandung). Bagaimana andil pelaku seni khususnya pematung yang berada di kampung halaman (Sumatera Barat) dalam perkembangan seni patung Indonesia?

Penutup

Sesungguhnya kehidupan seni patung yang sudah berlangsung sejak jaman prasejarah telah memasuki era baru dalam perkembangannya di Indonesia dan merupakan bagian dari kehidupan seni rupa yang terutama mempergunakan media ruang, bentuk, garis dan warna.

Persoalan pematung bukanlah hanya menciptakan karya-karya berkualitas. Di dalam menjalankan profesinya ia akan selalu berhadapan dengan persoalan yang berhubungan dengan masalah hak dan kewajibannya sebagai seorang pematung, yang seringkali cukup rumit dan pada kenyataannya banyak diantara pelaku seni baik seniman, kolektor, galeri serta masyarakat umum memiliki pemahaman yang sangat minim mengenai hal ini.

Pengkayaan bahasa seni rupa merupakan kebutuhan agar penghayatannya dapat semakin meluas ke arah berbagai media sehingga terbuka kemungkinan untuk memperkaya imajinasi dan kemampuan berekspresi. Kebebasan mencipta bagi seniman merupakan hak azazi yang perlu dipertahankan dalam kehidupan berkesenian pada umumnya dan merupakan bagian dari kebebasan manusia secara keseluruhan.

Dengan menyadari semua itu, dengan kesadaran dan tanggung jawab yang mendalam, baik sebagai pribadi maupun warga bangsa, para pematung Indonesia membentuk suatu wadah kegiatan yang bernama Asosiasi Pematung Indonesia disingkat API, yang terbentuk tanggal 7 Juli 2000 berkedudukan di Yogyakarta (API Pusat), untuk selanjutnya diberbagai daerah di seluruh Indonesia dapat didirikan API Daerah.

Adapun API bertujuan untuk membina dan mengembangkan seni patung di Indonesia dengan: a. meningkatkan kreativitas, kemampuan teknis dan kemampuan intelektual para pematung, b. meningkatkan kesadaran berorganisasi dikalangan para pematung, c. meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap seni patung. Inisiatif kegiatan adalah mengupayakan pertemuan antar para seniman, dan antara seniman dan para pakar dibidang lain, baik dalam cakupan lokal, nasional maupun internasional, dalam rangka meningkatkan kreativitas berkarya dan pula untuk mengembangkan pemikiran dan memperluas wawasan.

Berkaitan dengan itu, Asosiasi Pematung Indonesia cabang Sumatera Barat yang terbentuk pada tanggal 25 Februari 2005 yang lalu mencoba memanfaatkan wadah API sebagai tempat berkumpulnya seniman patung yang berada di Sumatera Barat, dan mengajak pematung senior ataupun para pematung pemula, serta yang berminat dalam bidang seni patung untuk ikut bergabung dan saling bertukar pikiran dalam bidang seni patung, demi memajukan seni patung di Sumatera Barat.

Salah satu program API Sumatera Barat adalah melaksanakan kegiatan pameran seni patung yang Alhamdulillah kegiatan tersebut saat ini sedang berlangsung yang sekaligus merupakan pameran I API Sumatera Barat. Apakah pameran yang bertema “ Jelajah Patung Dalam Tradisi Minang” yang sedang berlangsung ini dapat menjawab minimal sebagian dari jawaban yang kita butuhkan tentang eksistensi seni patung Sumatera Barat dalam peta seni patung Indonesia? Jawabannya ada pada kita semua.

Minggu, 01 Maret 2009

" Perjalanan "
11.5 x50 x 82 cm, Resin, 2008
(karya : Lisa Widiarti)

Minggu, 15 Februari 2009

RUANG INTERPRETASI DALAM KARYA SENI PATUNG MODERN

Oleh: Lisa Widiarti

PENDAHULUAN

Karya seni adalah sebuah wujud inderawi yang membangkitkan pengalaman perasaan tertentu pada seseorang. Pengalaman perasaan ini disebut pengalaman seni. Dalam dunia seni, pengalaman seni merupakan syarat pokok lahirnya sebuah karya seni. Sebuah karya seni diciptakan dengan orientasi keluar, artinya ditujukan pada orang lain dan bukan kedalam diri seniman itu sendiri. Sebuah karya yang diciptakan oleh seorang seniman baru bisa benar-benar menjadi ‘karya seni kalau ada penanggap yang mampu memperoleh pengalaman seni dari karya tersebut. Salah satu syarat terjadinya pengalaman seni terhadap sebuah benda seni adalah kesamaan konteks nilai seni antara seniman (dan karya seninya) dengan penanggap seni atau publik seni. Dengan demikian faktor relasi antara objek seni dengan subjek penanggap amat menentukan munculnya nilai-nilai seni.

Soemardjo (2000) menjelaskan bahwa sebuah karya seni menjadi objek seni setelah dihadirkan di depan publiknya. Peristiwa seni adalah peristiwa komunikasi dan karya seni itulah yang menjadi pusat komunikasi. Setiap orang dapat menjadi warga publik seni asalkan mau memasuki wilayah komunikasi seni. Seniman mengekspresikan nilai-nilai dalam benda atau wujud inderawi, yaitu karya seni, dan publik seni menerima nilai-nilai seni dari karya tersebut.

Selanjutnya Soemardjo menerangkan bahwa pada dasarnya seni dapat didekati dari berbagai aspek, yakni; benda seni itu sendiri, pencipta (seniman), penerima seni dan aspek konteks nilai yang menjadi dasar bermainnya aspek seniman, serta benda seni dan publik seni. Secara ringkas pola hubungan itu dapat digambarkan sebagai berikut:

Seni itu pada dasarnya kontekstual, sebab seni itu adalah persoalan nilai-nilai, dan nilai-nilai itu selalu berhubungan dengan kenyataan konkrit. Sesuatu yang konkrit berada dalam waktu dan tempat tertentu. Bagaimanapun dan apapun wujudnya, seorang seniman tidak bisa dipisahkan dari nilai-nilai budaya masyarakatnya. Ia bisa tunduk, loyal dan membenarkan nilai-nilai masyarakatnya, bisa pula mencoba memberikan alternatif makna baru terhadap nilai-nilai masyarakat, atau sama sekali menolak nilai-nilai masyarakat dan mengajukan nilai-nilai baru dalam karya nya.

Dalam seni modern, kreatifitas merupakan hal yang sangat penting karena dari kreatifitas berkembanglah sifat-sifat orijinalitas, kepribadian, kesegaran, dan sebagainya. Seorang seniman biasanya merasa sulit untuk melepaskan diri dari ikatan sosial yang ada disekitarnya. Oleh karena itu seorang seniman modern dengan sadar berusaha membebaskan dirinya dari ikatan tersebut, dalam hubungannya dengan tanggapan terhadap obyek Seorang seniman biasanya merasa sulit untuk melepaskan diri dari ikatan sosial yang ada disekitarnya. Oleh karena itu seorang seniman modern dengan sadar berusaha membebaskan dirinya dari ikatan tersebut, dalam hubungannya dengan tanggapan terhadap obyek karyanya. aryanya. Sikap batin yang tidak stereotip, yang selalu ingin akan yang baru dan yang lain dari pada yang lain (sudah ada), merupakan ciri dari seniman modern.

Dalam karya seni rupa modern, jumlah unsur informatif (denotatif) sengaja dikurangi dan dihadirkan unsur-unsur visual yang mewakili nilai-nilai tertentu (konotatif). Unsur-unsur visual yang digunakan (misalnya; warna yang tidak ikonografis, atau garis yang tidak ikonografis) dan cara menyusunnya, mengharapkan keterlibatan pengamat dalam melengkapi ‘pengertian’ terhadap tanda-tanda visual tersebut sesuai dengan ground pribadinya. Dengan kata lain, karya seni modern ‘terbuka’ bagi interpretasi.

Sejumlah seniman kontemporer (dari aliran seperti; Dada, Minimal Art, Op Art, Abstract, Expressionisme) berupaya untuk membuat karya yang tidak diarahkan oleh suatu ide atau maksud apriori. Mereka ingin menyajikan suatu peristiwa visual (untuk dilihat) yang tidak mewakili sesuatu, tanpa referent. Pengamat dibiarkan bebas dalam interpretasinya. Meaning diberikan pada karya oleh pengamat – posteriori, setelah karya selesai. Pengamat mencari-unsur-unsur referensiil dalam memory dan jiwanya. Bila tanda-tanda visual yang dimanfaatkan oleh si seniman adalah quali-sign, daya asosiatif pengamat dapat mengaitkan sifat atau nilai yang dihadirkan oleh tanda-tanda visual yang bersifat Quali-Sign (misalnya; nada warna tertentu, lengkungan garis tertentu) dengan nilai yang pengamat kenal, yang penting baginya berdasarkan luas dan dalamnya ground. Tentu saja cara menghayati karya seperti ini hanya mungkin dilakukan pada karya-karya abstrak.

Patung adalah jenis karya seni dalam wujud tiga dimensi. Dalam era industri dan teknologi yang semakin canggih sekarang ini, karya-karya seni patung hadir dan ikut memberikan interpretasinya atas dampak era tersebut. Para pematung tidak hanya sekedar mengekspresikan manifestasi alam yang indah seperti apa adanya kedalam karya, akan tetapi juga mengekspresikannya dari hasil simplifikasi alam dengan hanya menangkap hakikat dari obyek, sehingga memunculkan karya-karya dalam wujud abstrak, dengan berbagai ‘nilai-nilai’ yang diungkapkan lewat ‘tanda-tanda’ visualnya.

Seni patung modern dapat kita lihat pada karya-karya pematung terkenal di dunia, seperti; Auguste Rodin (pelopor seni patung modern), Degas (pematung Impresionisti), Mattise, Picasso, Henry Moore, atau yang berasal dari Indonesia, seperti; Rita Widagdo, G.Sidartha, Arby Samah, Nyoman Nuarta dan banyak lagi pematung modern lainnya. Cara memahami karya-karya mereka tentunya dengan cara penghayatan terhadap tanda-tanda visual yang ada dalam karya dimana tanda yang digunakan mencakup suatu representasi dan interpretasi, suatu denotatum dan suatu interprant.

Semiotika

Kata semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang artinya tanda, jadi semiotika berarti ilmu tanda. Semiotika adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi pengguna tanda.

Semiotika kini adalah bidang yang luas, dari zoo-semiotika, semiotika para-linguistik, semiotika komunikasi visual, semiotika komunikasi massa, semiotika kode budaya dan banyak lagi lainnya. Charles Sanders Peirce (1839-1914) adalah salah seorang filosof Amerika yang paling orisinal dan multidimensional. Selain filsuf, Pierce adalah seorang ahli logika. Menurut Pierce, tugas seorang ahli logika adalah memahami bagaimana manusia bernalar. Sambil menyusun suatu teori mengenai bernalar, Pierce sampai pada keyakinan bahwa manusia berpikir dalam tanda. Maka demikianlah ia sampai menciptakan ilmu tanda. ‘Semiotika’, baginya, sinonim dengan ‘logika’. Secara harfiah ia mengatakan: ‘kita hanya berfikir dalam tanda. Disamping itu ia juga melihat tanda sebagai unsur dalam komunikasi. Bagi Pierce fungsi essensial sebuah tanda adalah membuat sesuatu menjadi efisien, baik dalam komunikasi kita dengan orang lain maupun dalam pemikiran dan pemahaman kita tentang dunia.

Karya seni rupa dalam ragam perwujudannya tidak terlepas dari sistem penandaan atau semiotika. Tanda dipakai oleh pengirim (sender) dan diterima oleh penerima (receiver), dan si penerima memerlukan penafsiran terhadap tanda-tanda visual tersebut. Sebuah tanda sebenarnya bukan “barang” atau benda, bukan objek dalam pengertian umum, melainkan suatu hubungan atau relasi.

Tokoh semiotika Peirce (dalam Aart Van Zoest; 1930) membagi jenis tanda berdasarkan ground nya, yaitu (1) Quali-sign, (2) Sin-sign dan (3) Legi-sign.

Quali-Sign adalah tanda yang berdasarkan sifatnya, referent berdasarkan pengalaman seperti merah yang berbeda sifat dengan hijau.

Sin-sign adalah tanda-tanda yang berdasarkan bentuk (rupa), tidak bisa begitu saja dihubungkan dengan sebuah referent karena sin sign adalah super sign yang unik, inovatif, justru menghadirkan referent baru yang belum diketahui sebelumnya.

Legi-sign adalah tanda berdasarkan peraturan yang berlaku umum, suatu konvensi, atau kode. Suatu peraturan, konvensi, dan kode berlaku umum, terbatas dalam suatu lingkungan tertentu yaitu lingkungan kebudayaan. Referensinya adalah suatu aturan tertentu, seperti repetisi.

Tanda melalui ciri-ciri khasnya mengarahkan interpretasi pada content yang dimaksud.

Inti pekerjaan sebagai perancang (seniman, disainer, arsitek) yaitu menciptakan tanda-tanda visual, tanda-tanda yang memvisualisasikan sesuatu (ada referent = ide, maksud, pesan). Jelas bahwa ide tersebut ada sebelum karya ada/apriori.

§ di seni murni : aneka gagasan, angan-angan, perasaan yang jelas maupun yang tidak jelas, melalui realisasi karya yang diformulasikan sehingga berbobot semantik.

§ di arsitektur : unsur-unsur visual me-signifikasi masing-masing fungsi gedung, bersifat informatif/denotatif, dan mengungkapkan hal-hal yang konotatif yaitu semantik.

§ di desain produk : unsur-unsur visualisme-signifikasi sebuah fungsi, secara informatif/denotatif. Desain hanya dapat dipakai bila tanda-tandanya dapat di dekodifisir, hanya sekali-sekali, bentuk desain mengungkapkan hal yang di luar fungsi, yang bersifat semantik. Tapi khusus desain grafis, tujuan desain adalah semantik, namun jarang berbobot filosofis (contohnya ; kartu perkawinan)

Tanda dalam Karya Seni

Penciptaan karya seni terwujud dari hasil ungkapan bathin penciptanya. Ungkapan bathin ini tidaklah datang begitu saja tanpa proses pengalaman artistik dalam diri si seniman. Untuk mendapatkan pengalaman artistik tersebut dapat dipelajari melalui latihan-latihan kepekaan jiwa dalam menangkap gejala-gejala alam, gejala-gejala yang tumbuh dalam masyarakat lingkungan dan bermacam gejala fisik lainnya.Unsur-unsur pembentuk pengalaman artistik antara lain bersifat estetis tetapi juga non-estetis. Pengalaman artistik merupakan pengalaman yang kompleks dan oleh seniman secara kreatif dapat dirangkum menjadi suatu hal yang berbentuk seni.

Para ahli Semiotik mengatakan bahwa karya seni diciptakan ‘sebagai tanda’, lebih tepatnya, sebagai Super-Sign, untuk ‘menyebut sesuatu’. Sesuatu itu ada pada generasi seniman dekade-dekade terakhir ini tidak terbatas pada pengalaman pribadi. Upaya utama dalam seni abad ini adalah merujuk pada jenis ‘arti’ dan ‘makna’, yang dapat ditangkap ataupun di rasakan, secara ‘inter-subjektif’, bersifat ‘supra-personal’, justru untuk mengatasi subjektivisme dan psikologisme yang berlebihan. Dengan kata lain, hal-hal yang ingin disebutkan di Seni Rupa, Arsitektur, apa yang mereka tampilkan / visualisasikan adalah ‘nilai-nilai’ yang penting bagi orang banyak, seakan-akan yang dicari adalah jenis ungkapan bagi nilai/arti, makna yang objektif, sesuatu yang dianggap dapat mengikat anggota-anggota dari suatu kolektif/komuniti tertentu. Sejauh mana seorang seniman sanggup memikirkan masalah-masalah zamannya, itulah yang menentukan keberhasilan karyanya sebagai bahan bacaan/’teks’ yang membawa nafas zaman, sehingga dapat dimengerti.

Karya seni termasuk dalam kategori tanda yang sengaja diciptakan sebagai tanda, dalam dua rubrik :

1. untuk merepresentasikan obyek-obyek nyata (seni sebagai ikonografi, yaitu seni naturalistik, realistik).

2. untuk memvisualisir atau menstimulir fungsi-fungsi mental tertentu (seni abstrak). Dalam hal ini ikonositas mempunyai tingkat gradasi yang berbeda pada masing-masing aliran. Sebagai contoh; sebuah lukisan abstrak atau patung abstrak adalah analog terhadap karakteristik acuan yang dapat merupakan obyek nyata, atau ide abstrak, ataupun suasana mental (yang juga nyata).

Seorang seniman diharapkan menciptakan tanda-tanda visual-estetis yang dalam konsepsinya kontemporer, yaitu berkaitan dengan problematik/pandangan yang aktuil di komuniti. Seni mencatat keyakinan maupun kegelisahan yang dalam hal ini kata interpretasi dan ruang interpretasi menjadi kata kunci.

Seni Patung Modern

Dalam perkembangan seni rupa modern, abstrakisme yang menjadi salah satu alur perkembangannya yang utama, sebenarnya bermula pada patung-patung Pablo Picasso yang mengadaptasi bentuk-bentuk patung primitif Afrika. Seni patung modern menurut Herberd Read diawali oleh Auguste Rodin (1840-1971). Loncatan yang berarti terjadi pada Picasso, terutama pada karya awalnya “Kepala Wanita” yang bercorak kubistis dan juga pada Henry Matisse dengan karya-karyanya yang bercorak arabeska, seperti dalam karya “Madeleine I” (1901). Sifat-sifat karya patung mereka tersebut sudah jauh dari sekedar meniru alam (mimesis). Dalam sejarah seni rupa modern, patung-patung Picasso yang memperlihatkan deformasi sangat jauh ini dicatat mempengaruhi kubisme dalam perkembangan seni lukis yang kemudian disebut-sebut sebagai tonggak penting perkembangan abstrakisme, sedangkan seni patung yang berperan dalam melahirkan abstrakisme ini tidak pernah disebut-sebat sebagai perintis.

Sederet nama pematung modern (berawalnya dari Eropa), adalah Auguste Rodin, Pablo Picasso, Henry Matisse, Paul Gauguin, Constantin Brancusi, Jean Arp, Naum Gabo dan Pevsner, Henry Moore. Selanjutnya oleh tokoh-tokoh Kinetic Sculpture seperti; Len Lye, Lin Emery, Ernest Trova, dan lainnya. Menurut Paul Klee karya-karya mereka bukanlah sekedar perwujudan bentuk meniru alam atau segala fenomena yang kasat mata, melainkan lebih banyak menghasilkan sesuatu dari dalam (dari dunia subyek) menjadi tampak oleh orang lain. Karena yang terungkap adalah dunia subyektif yang sering sukar terkontrol oleh pengalaman orang lain, maka tidaklah mustahil terlalu banyak ‘selubung’ yang menghambat terjadinya komunikasi. Pada gerakan Constructivisme yang dipelopori Naum Gabo dan sejumlah pematung lainnya, terdapat gejala yang mencoba mengeksploitir bentuk dan gerak.

Dasawarsa 1970 merupakan masa pemberontakan dan gerakan dalam seni rupa modern Indonesia, tak terkecuali didalamnya usaha-usaha untuk mempersoalkan perkembangan seni patung. Para seniman muncul dengan gejala baru dimana seniman memungut benda keseharian dan benda temuan seperti benda-benda mainan, boneka, mobil-mobilan, sendal bekas, kaleng, daun pisang, dan sebagainya, kemudian dimaklumat sebagai benda estetik dan sah untuk ditransformasikan sebagai seni.

Perkembangan seni patung di Indonesia yang tumbuh terutama di Bandung, Yogyakarta, Jakarta dan beberapa kota lainnya, menunjukkan perkembangan yang berbeda dibandingkan dengan pertumbuhan awal ditahun 1950-an. Pertumbuhan awal menunjukkan corak-corak representasional, yang ditandai dengan munculnya kecenderungan patung figuratif seperti patung potret diri atau sosok manusia tertentu yang dipatungkan. Lahirnya gerakan-gerakan seni yang dilakukan para seniman muda tidak saja melabrak kemapanan estetik, akan tetapi juga sikap dematerialisasi (pembebasan material). Seni patung tidak lagi di pahami sebagai seni masif yang menggunakan bahan khusus (kayu, batu, resin, bronze, dan lainnya) yang diletakkan di atas sebuah base, akan tetapi muncul dengan sejumlah kecenderungan estetika yang beraneka ragam.

Tanggal 5 Juni 1973 merupakan hari bersejarah bagi para pematung kontemporer Indonesia, karena pada tanggal tersebut untuk pertamakali diadakan pameran patung modern Indonesia di Taman Ismail Mazuki Jakarta. Hadirnya patung kontemporer sangat mengejutkan publik, dikarenakan kurangnya informasi mereka tentang seni patung modern dunia, khususnya Eropa dan Amerika. Ciri utama dari patung kontemporer ialah bahasa bentuknya tidak lagi bersifat regional, akan tetapi universal. Referensi sosialnya tidak ada sama sekali tetapi hal tersebut sudah didukung oleh falsafah mereka masing-masing yang tidak bisa diterangkan secara obyektif untuk semua orang. Karya-karya yang muncul bergerak kearah abstraksionisme ataupun semi abstrak, deformatif, serta mengekploitir bentuk dan gerak.

Interpretasi Karya Seni Patung Modern

(beberapa karya Pematung Indonesia)

Ø Rita Widagdo

Rita widagdo adalah seorang seniman yang tetap konsisten bertahan pada jalur abstrak, atau tepatnya lagi abstrak murni. Sejak awal sampai sekarang boleh dikatakan karya-karya Rita Widagdo tidak pernah sedikitpun menampilkan bentuk yang umum dikenal seperti bentuk-bentuk yang ada di alam. Ia mengolah elemen-elemen rupa tri-matra seperti; garis, bidang, ruang, dan memperlakukan unsur-unsur rupa tersebut sebagaimana adanya – tidak mewakili konsep atau pengertian tertentu. Semua karyanya digarap dengan sangat perfect dan tampil elegant. Ia berkarya dengan memilih bentuk persegi empat, bulatan, atau silinder, maupun bentuk geometrik lainnya yang tidak merujuk pada tiruan bentuk alam. Apa yang ditampilkan / visualisasikan Rita adalah ‘nilai-nilai’ yang seakan-akan adalah sesuatu yang dianggap dapat mengikat suatu komuniti tertentu. melalui ungkapan yang bermakna objektif.

Karya-karya pada masa awal sekitar tahun 1970 seperti; “Line and Form” (1970), “The Open Self” (1972), “Roundness” (1978), menampakkan kecenderungan pada permainan bidang dengan susunan bidang setara. Pada masa itu ia sudah menghasilkan karya relief dengan menggarap kemungkinan bidang yang ‘seolah datar’ namun muncul dalam dimensi dan ruang yang nyata – bukan lagi ilusi seperti karya dwi-matra. Dalam hal pewarnaan, Rita selalu memilih warna yang cenderung senada yang bersifat qualisign, dan itu tampak mencolok pada “From Two Dimensional to Three Dimensional” yang dibuat dengan bahan baja tahan karat.

" Parameswara "

(karya : Rita Widagdo)

Kekuatan garis merupakan ciri khas karya Rita Widagdo. Semua karyanya tidak terlepas dari garapan garis, lipatan dan gerak. Ia memunculkan kesan gerak dengan cara malakukan repetisi / pengulangan bentuk garis, lipatan, atau juga perbedaan cekung-cembung permukaan bidang karya dalam jumlah tertentu sehingga menghasilkan ‘sesuatu’ yang unik/sin sign. Ia menciptakan garis melalui bahan yang digunakan, seperti kawat atau batang tembaga, kuningan, dan juga stainles steel, yang ditempel dengan teknik solder, maupun garis yang terjadi akibat dari pertemuan antar bidang, seperti pada relief “Pressing to the Surface” (1994), atau pada karya patungnya; “JeanneD’arc” (1999), “Family IV” (2004), dan termasuk karya-karya patung publik yang dihasilkannya.

Ø G.Sidharta

G.Sidharta adalah pematung modern yang dikenal memberontak pada paham modern dengan mewarnai karya-karya patungnya (yang dianggap tidak setia terhadap watak bahan). Sejumlah karyanya juga mengandung cerita yang dihindari oleh umumnya para seniman modern. Kehadiran ornamen (pola-pola etnik) dan sapuan warna dalam karya patungnya ternyata tidak saja memperkaya perkembangan, tetapi juga melahirkan friksi-friksi tajam dalam wacana seni rupa. Karya-karya Sidharta menyiratkan nafas tradisi yang sangat kuat. Perjumpaan Sidharta dengan modernisme – menimba ilmu di ASRI Yogyakarta dan Jan van Eyck Akademie voor Beeldende Kunsten Maastricht, Nederland – tak menepis seni tradisi dalam karyanya.

Sebagian besar karya Sidharta diungkapkan dengan menggunakan sistim penandaan yang bersifat qualisign dan sebagian lagi dengan memanfaatkan sistem penandaan ikonogafi. Dalam karyanya yang berjudul “Tumbuh Lima Duabelas Berkembang” (1986) Sidharta tidak lagi terikat pada media dan rumus-rumus seni yang konvensional. Ia berusaha mengungkapkan irama dalam ruang dengan gerak tegak secara legisign berbentuk tiang dan mengaitkan diri dengan jalur kehidupan tradisi, selain tetap berdiri di alam kehidupan masa kini. Tanda-tanda visual yang hadir dalam karya tersebut bersifat qualisign.

" Lingkaran Pesan dari Timur "

(karya : G.Sidharta)

Begitu juga pada karya “Lingkaran Pesan dari Timur” cenderung mengolah unsur-unsur desain, konflik dan keselarasan. Karya dengan bahan tembaga yang berukuran 120 x 120 x 120 cm itu berupa semacam gelang raksasa yang tidak bertemu ujung dan pangkalnya. Pada tubuh gelang menempel empat potongan gelang serupa yang saling silang. Susunan bentuk mengingatkan orang pada paham yin-yang, yang tanda-tandanya muncul pada ujung-ujung potongan gelang tersebut.

Disamping Sidharta memanfaatkan tanda-tanda visual secara qualisign, ia juga banyak menghadirkan sifat ikonografi atau bahkan gabungan dari kedua sifat tersebut dalam karya patungnya. Misalnya patung yang bejudul “Keseimbangan dan Orientasi” (1996) dan “Dewi Kebahagiaan III” (1999). Dalam pengolahan bentuk patung ini bersifat ikonografi, walau tidak lagi hadir dalam wujud realis. Namun dalam memanfaatkan warna tidak lagi ikonografi akan tetapi lebih bersifat qualisign.

Ø Arby Samah

Cara cipta baru dalam seni patung di Yogyakarta dari paham teori imitasi ke teori formalis dirintis oleh Arby Samah, Edhi Sunarso dan Budiyani, disamping tentu saja mendapatkan pengaruh tidak langsung dari buku Barat. Arby Samah dilahirkan 1 April 1933 di Pandai Sikek, Sumatera Barat. Ide, tema serta pengolahan bahan berkarya, diekspresikan dalam wujud-wujud simbolik. Arby selalu mengambil ide-ide berkarya dari berbagai peristiwa yang mampu menggugah hati dan pikiran yang ia temui disekelilingnya. Ia meng-interpretasi-kan suasana mental dari apa yang ia lihat secara kasat mata kedalam wujud karya yang tidak lagi bersifat realis, namun mengolah bentuk dengan cara mereduksi sejumlah elemen realis menjadi bentuk dan gerak yang lebih sederhana.

Semua karya patung Arby diwujudkan dalam bentuk abstrak figuratif dan ikonografi dari referent yang dipilih. Bentuk-bentuk yang hadir diolah dari gerak atau sifat dasar dari bentuk figur yang ingin diungkapkan. Sebagai contoh karya yang berjudul “Sujud” (1965), ide tersebut sudah ada sebelum karya diciptakan. Tanda visual yang hadir memvisualisasikan ide, maksud dan juga pesan yang diinginkan Arby dan olahan bentuk dibuat secara simbolik dengan arah horizontal namun secara ikonografis masih dapat ditangkap bentuk gerakan seseorang yang sedang melakukan gerakan bersujud.

Ciri khas dari karya Arby berbentuk pipih dan dari bahan kayu. Jika patung secara logika harus bisa dinikmati dari segala arah pandang, namun semua karya patung Arby cenderung hanya bisa dinikmati dari dua arah saja yaitu muka-belakang. Namun hal itu bukan berarti karya Arby tidak bagus karena pada dasarnya dalam seni modern yang diutamakan adalah masalah inovasi dan kebaruan. Dalam hal ini Arby telah melakukan hal tersebut karena dengan cara mengolah bentuk yang demikian justru belum ada atau bahkan mungkin tidak pernah dilakukan oleh pematung lain.

Ø Nyoman Nuarta

seperti kebanyakan seniman Bali, Nyoman Nuarta adalah seorang seniman kontemporer yang tidak pernah melepaskan bingkai kesenian dalam tradisi Bali. Meskipun ia seniman yang mendapat pendidikan Barat, persepsinya tentang seni rupa sangat diwarnai prinsip-prinsip kesenian Bali. Karya-karya Nuarta adalah karya-karya kontemporer, namun idiom dan makna karyanya tidak bisa dipahami tanpa mengkaji perkembangan seni rupa Bali.

Berbeda dengan seni rupa Bali pada umumnya, karya-karya Nuarta menunjukan gejala-gejala pembaharuan. Ia berupaya meninggalkan persepsi seni rupa Bali yang telah menjadi umum, dan dengan sangat kritis mengolah bentuk patung-patung Bali dengan cara memperlihatkan distorsi menyerupai patung-patung primitif. Keterkaitan Nuarta pada perkembangan seni rupa Bali ini membuat hubungan karya-karyanya dengan perkembangan seni rupa yang dipengaruhi tradisi modern menjadi tidak mutlak.

SIMPULAN

Perkembangan suatu kesenian selalu bermula dari tingkatan kesenian yang paling sederhana dan tidak langsung mencapai puncak perkembangan. Kesenian berkembang mengikuti perubahan zaman berdasarkan kurun waktu. Ditinjau dari perkembangan dan kurun waktunya sejak zaman prasejarah hingga sekarang, maka karya seni yang dihasilkan dapat dikelompokkan dalam jenis seni primitif, seni klasik, seni tradisional, seni modern, dan seni kontemporer.

Manifestasi visual karya seni bisa bermacam-macam. Ada yang mengungkapkan relitas sebagaimana adanya sesuai apa yang dilihat mata, ada yang mendetail, dan ada pula yang diseleksi terlebih dahulu untuk mendapatkan essensinya. Seni modern merupakan kesenian yang menghasilkan karya-karya baru. Seniman yang kreatif akan menghasilkan karya seni yang modern, karena di dalamnya ada unsur pembaharuan, baik dari segi penggunaan media, teknik berkarya maupun unsur gagasan/ide. Seni modern tidak terikat oleh ruang dan waktu, baik itu karya yang dihasilkan di masa lampau maupun pada masa kini. Karya-karya seni patung modern dapat dilihat pada karya Auguste Rodin, Pablo Picasso, Henry Matisse, Rita Widagdo, G.Sidharta, Arby Samah, Nyoman Nuarta, dan lainnya.

Dalam perkembangan seni rupa modern, abstrakisme yang menjadi salah satu alur perkembangannya yang utama, bermula pada patung-patung Pablo Picasso yang mengadaptasi bentuk-bentuk patung primitif Afrika. Dalam seni rupa modern Indonesia, para pematung tidak hanya sekedar mengekspresikan manifestasi alam yang indah seperti apa adanya kedalam karya, akan tetapi juga mengekspresikannya dari hasil simplifikasi alam dengan hanya menangkap hakikat dari obyek, sehingga memunculkan karya-karya dalam wujud abstrak, yang diungkapkan lewat ‘tanda-tanda’ visualnya. Seorang seniman biasanya merasa sulit untuk melepaskan diri dari ikatan sosial yang ada disekitarnya. Oleh karena itu seorang seniman modern dengan sadar berusaha membebaskan dirinya dari ikatan tersebut, dalam hubungannya dengan tanggapan terhadap obyek karyanya.

Cara menghayati karya-karya abstrak adalah melalui pemahaman terhadap tanda-tanda visual yang ada dalam karya tersebut dimana tanda yang digunakan mencakup suatu representasi dan interpretasi, suatu denotatum dan suatu interprant. Penafsiran terhadap tanda-tanda visual tersebut sesuai dengan ground pribadi masing-masing pengamat, dengan kata lain, karya seni modern ‘terbuka’ bagi interpretasi.

DAFTAR RUJUKAN

Blake, Robin. 2001. Modern Art. Parragon Publishing. London.

SP, Soedarso. 1990. Sejarah Perkembangan Seni Rupa Modern. Yogyakarta.

Sumarjo, Jakob. 2000. Filsafat Seni. Bandung : ITB.

Van Zoest, Aart. 1993. Semiotika. Diterjemahkan oleh Ani Soekowati. Jakarta. Yayasan Sumber Agung.